ARTIKEL 

Sumpah Pemuda: Puisi yang Tak Pernah Mati

Sumpah Pemuda yang dicetuskan dan diikrarkan oleh para pemuda 88 tahun yang lalu adalah sesuatu yang dianggap satu momentum bersejarah yang menandai sebuah kesadaran kolektik dari bermacam organisasi pemuda yang kemudian menjadi pengikat untuk berada pada satu semangat persatuan. Lahirnya banyak organisasi beberapa tahun sebelumnya masih bercorak primordial, hanya berupa perubahan pola perjuangan dari fisik menuju ideologis. Masih begitu kental sekat-sekat sektarianisme dan primordialisme dalam organ-organ yang ada sebelum sumpah pemuda diikrarkan. Sekat agama, suku, profesi, dan terlebih sekat bahasa masih sangat menonjol.

Presiden penyair Indonesia Sutardji Calzoum Bachri (SCB) dalam suatu kesempatan pada suatu forum di Yayasan Hari Puisi Indonesia (YHPI) yang kemudian menjadi dokumentasi berharga bagi YHPI mengatakan jika teks ikrar Sumpah Pemuda adalah suatu puisi abadi yang menjadi momentum pemicu kesadaran tersebut. Dengan kata lain, teks Sumpah Pemuda lahir dari imaginasi yang mampu menjadi ruh dan mampu menggerakkan sebuah perjuangan kolektif. Tak berlebihan jika SCB kemudian melihat sebuah momentum puitik dalam ikrar pemuda yang kemudian menjadi titik tolak akan lahirnya sebuah bangsa besar yang bernama Indonesia.

Pernyataan SCB bahwa bangsa ini lahir dari puisi barangkali kemudian menjadi hal yang cukup kontroversial dan debatable. Tentu pendapat yang tak setuju adalah sah-sah saja. Jika kita memahami secara fundamental apa yang menjadi titik tolak pernyataan SCB bahwa teks Sumpah Pemuda adalah teks sastra atau puisi, maka kita bisa menerima bahwa puisi telah melahirkan sebuah bangsa, atau setidaknya menjadi bagian yang sangat signifikan membentuk sebuah kesadaran kolektif. Tak dapat dimungkiri jika ikrar atau sumpah pemuda yang puitik tersebut telah menjadi pemersatu segala beda sebuah bangsa yang begitu plural.

Para penyair yang menjadi inisiator dan deklarator YHPI di mana SCB menjadi salah satu motor menempatkan teks sumpah pemuda sebagai teks puisi tentu memiliki pijakan yang kuat. Salah satu kredo dasar puisi adalah bersifat imaginatif, artinya sebuah teks lahir dari pikiran dan ruang idea. Imaginasi tersebut tentu lahir dari suatu perenungan yang penuh dengan muatan-muatan yang sangat kompleks untuk kemudian menjelma dalam teks. Sungguh sulit kita bayangkan jika sebuah teks yang kita sebut Sumpah Pemuda bisa lahir begitu saja tanpa imaginasi yang tinggi. Bisa saja teks puisi lahir secara spontan, tapi sebenarnya di sana telah ada sebuah ruang idea yang menampung imaginasi.

Selain itu secara stilistik dengan melihat struktur kalimat, teks sumpah pemuda memang terasa kuat sebagai puisi dengan menekankan repetisi yang bertumpu pada penggunaan anafora, pengulangan pada awal kata atau kata pertama yang mampu mencapai bunyi, nada, dan harmoni yang maksimum.

 

Puisi dan Penyair Pemuda

Seorang yang dianggap sebagai perumus dasar teks sumpah Pemuda adalah Mohammad Yamin (Asvi Warman Adam, www.PusakaIndonesia.org, 17 Oktober 2014). Para pemuda yang berkumpul saat itu menyerahkan pada Yamin untuk merumuskan hasil pertemuan tersebut dan Yamin menuliskannya pada secarik kertas yang ia serahkan pada Soegondo saat Mr.Sunario sedang berpidato.

Mohammad Yamin (1903-1962) adalah pejuang kelahiran Sawahlunto, Sumatra Barat, dikenal juga sebagai salah seorang sastrawan besar Indonesia. Bahkan sejarah mencatat bahwa pada tahun 1928, bertepatan dengan peristiwa konggres pemuda ke 2 yang kemudian menghasilkan peristiwa sumpah pemuda tersebut, Mohammad Yamin menerbitkan buku kumpulan puisi yang berjudul Indonesia, Tumpah Darahku. Buku puisi yang diterbitkan Balai Pustaka tersebut memuat puisi-puisi Yamin yang telah bergeser tema dari sebelumnya berbicara tentang pulau Perca atau Sumatra mengarah pada tema kesadaran sebuah bangsa dan nusantara.

Yamin yang penyair tersebut tentu memiliki peran yang sangat menonjol dalam pergerakan Indonesia khususnya sumpah pemuda. Kemampuannya menulis puisi tentu bisa terlihat dari teks sumpah pemuda hasil rumusan pemikirannya yang sangat imaginatif dan telah melampaui sekat-sekat kedaerahannya. Imaginasi Yamin juga mampu menggerakkan kesadaran para pemuda dengan teks agung yang sampai saat ini tetap mampu menjadi pemersatu bangsa.

Puisi Yamin yang kita sebut ikrar sumpah pemuda seakan ruh yang mampu menghidupkan jiwa-jiwa yang terkungkung oleh kolonial dan politik devide at impera Belanda yang telah lama bercokol di banyak para warga pribumi. Puisi Yamin telah merontokkan mental dan watak yang disebut inlander. Lebih dari itu, puisi Yamin adalah teks agung yang visioner yang membuka mata anak bangsa tentang persatuan dalam satu tanah air, satu bangsa dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Bahasa persatuan inilah yang makin mampu menjadikan kita semua mampu berinteraksi dan bersatu dengan tetap menjaga kekayaan bahasa lokal. Mungkin jika Yamin sang penyair tak menulis puisi tersebut, sejarah bangsa ini akan menjadi lain.

Mohammad Yamin sang penyair memanglah seorang yang imaginatif dan visioner. Puisi baginya adalah sebuah instrument besar yang mampu menjadi alat perjuangan, sebagai imaginasi yang agung yang tak lagi membuat manusia berdiri pada wawasan, kesadaran dan sikap kerdil.

Mohammad Yamin yang saat itu berusia 25 tahun tentu tak sendiri. Ia memang perwakilan dan pimpinan Yong Sumatramen Bond saat itu. Setidaknya 13 tokoh pemuda seperti Mr. Sunario (1902-1997), J. Leimena (1905-1977), Soegondo Djojopuspito (1905-1978), Mr. Amir syarifudin (1907-1948), Ki Mangunsarkoro (1904-1957), Karto Soewiryo (1905-1962), Kasman Singodimedjo (1904-1982), A.K. Gani (1905-1968), WR Supratman (1903-1938), dan beberapa nama yang biografinya tak diketahui seperti Sie Kong Liong yang rumahnya menjadi tempat sumpah pemuda diikrarkan yang kini menjadi museum sumpah pemuda. Mereka perwakilan pelbagai daerah dan golongan yang berusia rata-rata di bawah usia 30 tahun turut berikrar. Semangat sumpah pemuda tersebut yang kemudian menjadi pemersatu hingga beberapa tahun kemudian Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya.

 

Puisi itu Abadi

 

Teks sumpah pemuda adalah puisi yang abadi. Puisi itu tetap hidup dan menjadi pemersatu anak bangsa dari zaman dan generasi berikutnya. Puisi yang mampu melampaui kondisi dan realitas masyarakat yang masih bergulat dengan segala konflik internal, identitas, ideologi, dan kolonialisme. Puisi yang lahir dari imaginasi seorang penyair yang mampu menjadikan kata-kata adalah rangkaian kesadaran yang terbelah dalam suatu lorong panjang dan gelap tetapi penuh dengan semangat heroisme bahkan revolusi fisik. Puisi itu adalah imaginasi panjang dari sebuah narasi yang pernah hilang atau terlupakan sejak sumpah palapa diikrarkan Gajah Mada beratus-ratus tahun sebelumnya di tahun 1336 M. Puisi yang mampu mengubah paradigma beragam lapisan masyarakat dalam suatu kolektifitas semangat, kesadaran, dan perjuangan.

Terlepas dari suatu perdebatan tentang teks sumpah pemuda adalah puisi atau bukan karena itu juga tak begitu subtansial, tapi kita bisa tetap menjaga semangat teks tersebut sebagai sebuah peristiwa sejarah yang begitu puitik dan heroik sekaligus sakral. Puisi adalah genre dalam sastra yang diyakini suatu fiksi, tapi puisi telah menjadi abadi dalam suatu realitas yang mampu berada pada pelbagai posisi tergantung sejauh mana suatu masyarakat atau bangsa memberi apresiasi. Hari ini dan esok bahkan seterusnya imaginasi Yamin yang mengalir pada para pemuda visioner itu tak akan pernah mati. Zaman bisa berubah dan berganti, puisi akan tetap memiliki arti. Meski tak akan mampu lagi kita melahirkan puisi seperti sumpah pemuda karena kita berada pada suatu era yang berbeda, tapi setidaknya spirit akan suatu persatuan untuk membangun sebuah negri yang merdeka dan jaya harus tetap kita jaga. Spirit puisi adalah spirit sebuah negri yang tetap ingin tegak berdiri.

 

Mahrus Prihany, divisi organisasi dan kaderisasi KSI.

Related posts

Leave a Comment

one × four =